Rabu, 04 Mei 2011

Makalah Dayakologi study khusus terhadap peralatan suku dayak

BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Dayak atau Daya adalah kumpulan berbagai sub etnis Austronesia yang dianggap sebagai penduduk asliyang mendiami Pulau Kalimantan, lebih tepat lagi adalah yang memiliki budaya sungai dimasa sekarang yaitu setelah berkembangnya agama Islam di Borneo, sebelumnya Budaya masyarakat Dayak adalah Budaya Maritim atau bahari. Hampir semua nama sebutan orang Dayak mempunyai arti sebagai sesuatu yang berhubungan dengan "perhuluan" atau sungai, terutama pada nama-nama rumpun dan nama kekeluargaannya. Seperti sebutan Bidayuh dari bahasa kekeluargaan Dayak Bidayauh itu sendiri yaitu asal kata "Bi" yang bearti "orang" dan Dayuh yang bearti " Hulu" jadi Bidayuh bearti "orang hulu". Sebutan Ot Danum yang berasal dari bahasa mereka sendiri yaitu asal kata "Ot" yang bearti hulu dan Danum yang bearti "air" jadi Ot Danum bearti Hulu Air (sungai ) yaitu orang-orang yang bermukim di daerah hulu. Sebutan Biaju dari bahasa Biaju ( Lama / kuno ) sendiri yang berasal dari kata "Bi" yang bermakna "Orang" dan kata "Aju / Ngaju" yang bermakna hulu jadi Biaju bermakna "orang hulu". Di daerah sarawak Malaysia suku Dayak rumpun Apokayan ( Kayan, Kenyah dan Bahau ) sering disebut "Orang Ulu" ini juga merupakan pe-melayu-an dari kata " Apokayan" itu sendiri. Sementara itu warga Dayak Kendayan setelah kedatangan Islam oleh orang luar juga sering disebut "orang hulu" dan diterjemahkan ke dalam bahasa mereka sendiri dengan kata " Daya". Jadi sangat jelas bahwa sebutan Dayak ini adalah sebutan kolektif karena orang Dayak terdiri dari beragam budaya dan bahasa, yang kehidupannya sangat erat berhubungan dengan sungai ( Budaya Sungai ), hal ini disebabkan karena setelah kedatangan Islam hampir seluruh perkampungan orang-orang Borneo asli yang masih berbudaya asli ( Dayak ) banyak terdapat tidak di pesisir pantai laut lagi ( meski di beberapa wilayah masih terdapat di pesisir pantai Laut ), melainkan di sepanjang daerah aliran sungai ( DAS ). Kata Dayak sendiri selain berasal dari bahasa Dayak Kendayan, juga berasal dari bahasa Dayak kenyah dan Dayak lainnya, yakni dari istilah kata " Daya" yang memiliki dua arti yakni "daerah hulu" dan "kekuatan". ketika ada orang lain yang menanyai seseorang yang hendak ke daerah hulu dimasa lampau dengan kalimat dalam bahasa Dayak Kendayan seperti ini: Ampus Ka mane kau? maka akan di jawab oleh orang yang di tanyai sebagai berikut: Aku Ampus ka daya...yang artinya " pergi ke mana kau? aku pergi ke hulu".

2. RUMUSAN MASALAH
• Alat-alat apa saja yang digunakan suku dayak ?
• Apa kegunaan alat-alat tersebut ?
3. TUJUAN PENULISAN
• Untuk mengetahui alat-alat yang digunakan suku dayak
• Untuk mengetahui kegunaan dari alat-alat tersebut.

BAB II
PEMBAHASAN

Suku Dayak dalam segi Peralatan Hidup
Dalam melangsungkan dan mempertahankan kehidupannya orang Dayak tidak dapat dipisahkan dengan hutan, atau dengan kata lain hutan yang berada di sekeliling mereka merupakan bagian dari kehidupannya dan dalam memenuhi kebutuhan hidup sangat tergantung dari hasil hutan. Sapardi (1994), menjelaskan bahwa hutan merupakan kawasan yang menyatu dengan mereka sebagai ekosistem. Selain itu hutan telah menjadi kawasan habitat mereka secara turun temurun dan bahkan hutan adalah bagian dari hidup mereka secara holistik dan mentradisi hingga kini, secara defakto mereka telah menguasai kawasan itu dan dari hutan tersebut mereka memperoleh sumber-sumber kehidupan pokok. Kegiatan sosial ekonomi orang Dayak meliputi mengumpulkan hasil hutan, berburu, menangkapikan, perkebunan rakyat seperti kopi, lada, karet, kelapa, buah-buah dan lain-lain, serta kegiatanberladang (Sapardi,1992). Kegiatan perekonomian orang Dayak yang pokok adalah berladang sebagai usaha untuk menyediakan kebutuhan beras dan perkebunan rakyat sebagai sumber uang tunai yang dapat dipergunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup yang lain; walaupun demikian kegiatan perekonomian mereka masih bersifat subsistensi (Mering Ngo, 1989; Dove, 1985).Menurut Arman (1994), orang Dayak kalau mau berladang mereka pergi ke hutan, dan terlebih dahulu menebang pohon-pohon besar dan kecil di hutan, kalau mereka mengusahakan tanaman perkebunan mereka cenderung memilih tanaman yang menyerupai hutan, seperti karet (Haveabrasiliensis Sp),rotan(Calamus caesius Spp), dan tengkawang (shorea Sp). Kecenderungan seperti itu bukan suatu kebetulan tetapi merupakan refleksi dari hubungan akrab yang telah berlangsung selama berabad-abad dengan hutan dan segala isinya.Hubungan antara orang Dayak dengan hutan merupakan hubungan timbal balik. Disatu pihak alam memberikan kemungkinan-kemungkinan bagi perkembangan budaya orang Dayak, dilain pihak orang Dayak senantiasa mengubah wajah hutan sesuai dengan pola budaya yang dianutnya(Arman, 1994). Persentuhan yang mendalam antara orang Dayak dengan hutan, pada giliran melahirkan apa yang disebut dengan sistem perladangan. Ukur (dalam Widjono,1995),menjelaskan bahwa sistem perladangan merupakan salah satu ciri pokok kebudayaan Dayak. Ave dan King (dalam Arman,1994), mengemukakan bahwa tradisi berladang (siffting cultivationatau swidden) orang Dayak sudah dilakukan sejak zaman nenek moyang mereka yang merupakan sebagai mata pencaharian utama. Sellato (1989 dalam Soedjito 1999),memperkirakan sistem perladangan yang dilakukan orang Dayak sudah dimulai dua abad yang lalu. Mering Ngo (1990), menyebutkan cara hidup berladang diberbagai daerah di Kalimantantelah dikenal 6000 tahun Sebelum Masehi. Almutahar (1995) mengemukakan bahwa aktivitas orang Dayak dalam berladang di Kalimantan cukup bervariasi, namun dalam variasi ini terdapat pula dasar yang sama. Persamaan itu terlihatdari teknologi yang digunakan, cara mencari tanah atau membuka hutan yang akan digunakan,sumber tenaga kerja dan sebagainya. Dalam setiap aktivitas berladang pada orang Dayak selalu didahului dengan mencari tanah.Dalam mencari tanah yang akan dijadikan sebagai lokasi ladang mereka tidak bertindak secara serampangan. Ukur (1994), menjelaskan bahwa orang Dayak pada dasarnya tidak pernah berani merusak hutan secara intensional. Hutan, bumi, sungai, dan seluruh lingkungannya adalah bagian dari hidup. Menurut Mubyarto (1991), orang Dayak sebelum mengambil sesuatu dari alam, terutama apabila ingin membuka atau menggarap hutan yang masih perawan harus memenuhi beberapa persyaratan tertentu yaitu: pertama, memberitahukan maksud tersebut kepada kepala suku atau kepala adat; kedua, Seorang atau beberapa orang ditugaskan mencari hutan yang cocok. Mereka ini akan tinggal atau berdiam di hutan-hutan untuk memperoleh petunjuk atau tanda, dengan memberikan persembahan. Usaha mendapatkan tanda ini dibarengi dengan memeriksa hutan dan tanah apakah cocok untuk berladang atau berkebun; ketiga, apabila sudah diperoleh secara pasti hutan mana yang sesuai, segera upacara pembukaan hutan itu dilakukan,sebagai tanda pengakuan bahwa hutan atau bumi itulah yang memberi kehidupan bagi merekadan sebagai harapan agar hutan yang dibuka itu berkenan memberkati dan melindungi mereka.Hasil penelitian Mudiyono (1990), mengemukakan bahwa kreteria yang digunakan oleh ketua adat atau kepala suku memberi izin untuk mengolah lahan di lihat dari kepastian hubungan hukum antara anggota persekutuan dengan suatu tanah tertentu dan menyatakan diri berlaku ”kedalam dan ke luar”. Berlakunya ”ke luar” menyatakan bahwa hanya anggota persekutuan ituyang memegang hak sepenuhnya untuk mengerjakan, mengolah dan memungut hasil dari tanah yang digarapnya. Sungguhpun demikian adakalanya terdapat orang dari luar persekutuan yang karena kondisi tertentu diberi izin untuk menumpang berladang untuk jangka waktu satu atau dua musim tanam. Berlakunya “ke dalam” menyatakan mengatur hak-hak perseorangan atas tanah sesuai dengan norma-norma adat yang telah disepakati bersama. Anggota persekutuan dapat memiliki hak untuk menguasai dan mengolah tanah, kebun atau rawa-rawa. Apabila petani penggarapmeninggalkan wilayah (benua) dan tidak kembali lagi maka penguasaan atas tanah menjadi hilang. Hak penguasaan tanah kembali kepada persekutuan dan melalui musyawarah ketua adatdapat memberikannya kepada anggota lain untuk menguasainya. Tetapi jika seseorang sampai pada kematiannya tetap bermukim di daerah persekutuan maka tanah yang telah digarap dapat diwariskan kepada anak cucunya.Hasil penelitian Kartawinata (1993) pada orang Punan, dan Sapardi (1992) pada orang Dayak Ribun dan Pandu, pada umumnya memilih lokasi untuk berladang di lokasi yang berdekatandengan sungai. Tempat-tempat seperti itu subur dan mudah dicapai.Dalam studi kasus tentang sistem perladangan suku Kantu di Kalimantan Barat Dove, (1988) merinci tahap-tahap perladangan berpindah sebagai berikut: (1) pemilihan pendahuluan atastempat dan penghirauan pertanda burung; (2) membersihkan semak belukar dan pohon-pohon kecil dengan parang; (3) menebang pohon-pohon yang lebih besar dengan beliung Dayak; (4) setelah kering, membakar tumbuh-tumbuhan yang dibersihkan; (5) menanam padi dan tanaman lainnya ditempat berabu yang telah dibakar itu; (6) menyiangi ladang (kecuali ladang hutan primer);(7) menjaga ladang dari gangguan binatang buas; (8) mengadakan panen tanaman padi; dan (9) mengangkut hasil panen ke rumah. Selanjutnya menurut Soegihardjono dan Sarmanto (1982) ada empat kegiatan tambahan yang tidak kalah penting dalam kegiatan berladang adalah: (1) pembuatan peralatan ladang (yaitu menempa besi, membuat/memahat kayu dan menganyam rumput atau rotan); (2) membangun pondok di ladang; (3) memproses padi; (4) menanam tanaman yang bukan padi.
Dalam setiap tahap kegiatan mengerjakan ladang tersebut biasanya selalu didahului dengan upacara-upacara tertentu. Hal ini dilakukan dengan maksud agar ladang yang mereka kerjakan akan mendapat berkah dan terhindar dari malapetaka.
Alat-Alat Yang Digunakan Suku Dayak
Alat Berladang
Pisau, kapak. Baliong, tugal, pangatam.
Alat Masak Memasak
periuk atau sampau dari bahan kuningan atau besi untuk menanak nasi, kuwali terbuat dari tanah liat atau logam, panci dari bahan logam, ketel atau ceret dari bahan logam, dan tungku batu. Rinjing.
Alat Tidur
Tikar yang terbuat dari daun dadang dan daun urun, kelasa yaitu tikar yang terbuat dari rotan, bantal yang terbuat dari kabu-kabu (kapuk) yang disarung dengan kain,klambu, katil dan pangking yaitu tempat tidur yang terbuat dari kayu.
Senjata Suku bangsa Dayak
1. Sipet / Sumpitan. Merupakan senjata utama suku dayak. Bentuknya bulat dan berdiameter 2-3 cm, panjang 1,5 - 2,5 meter, ditengah-tengahnya berlubang dengan diameter lubang ¼ - ¾ cm yang digunakan untuk memasukan anak sumpitan (Damek). Ujung atas ada tombak yang terbuat dari batu gunung yang diikat dengan rotan dan telah di anyam. Anak sumpit disebut damek, dan telep adalah tempat anak sumpitan yang digunakan untuk berburu dan berperang.
2. Lonjo / Tombak. Dibuat dari besi dan dipasang atau diikat dengan anyaman rotan dan bertangkai dari bambu atau kayu keras yang juga dugunakan untuk berburu dan berperang.
3. Telawang / Perisai. Terbuat dari kayu ringan, tetapi liat. Ukuran panjang 1 – 2 meter dengan lebar 30 – 50 cm. Sebelah luar diberi ukiran atau lukisan dan mempunyai makna tertentu. Disebelah dalam dijumpai tempat pegangan yang digunakan untuk melindungi diri ketika berperang.
4. Mandau. Merupakan senjata utama dan merupakan senjata turun temurun yang dianggap keramat. Bentuknya panjang dan selalu ada tanda ukiran baik dalam bentuk tatahan maupun hanya ukiran biasa. Mandau dibuat dari batu gunung, ditatah, diukir dengan emas/perak/tembaga dan dihiasi dengan bulu burung atau rambut manusia. Mandau mempunyai nama asli yang disebut “Mandau Ambang Birang Bitang Pono Ajun Kajau”, merupakan barang yang mempunyai nilai religius, karena dirawat dengan baik oleh pemiliknya. Batu-batuan yang sering dipakai sebagai bahan dasar pembuatan Mandau dimasa yang telah lalu yaitu: Batu Sanaman Mantikei, Batu Mujat atau batu Tengger, Batu Montalat.
5. Dohong. Senjata ini semacam keris tetapi lebih besar dan tajam sebelah menyebelah. Hulunya terbuat dari tanduk dan sarungnya dari kayu. Senjata ini hanya boleh dipakai oleh kepala-kepala suku, Demang, Basir.
Alat-Alat yang Digunakan untuk Menangkap Ikan
• Jala
• Tampirai
• Rengge
• pihing
• Pasat

Alat Untuk Berburu
• Jala
• Dondang

Alat-Alat Music
Secara umum music dayak, seperti halnya dengan music tradisional lain di asia tenggara, didominasi oleh music-musik perkusik. Gong merupakan alat yang paling utama dan terdapat pada hampir semua kelompok dayak. Gong tersebut ditemukan dengan berbagai tipe dan ukuran serta dipakai dalam jumlah yang bervareasi. Di kalangan dayak ditemukan, paling tidak lima tipe gong, yaitu:
1. Tipe gerantung (gong besar), gong berukuran besar, sisi rendah, nada rendah, karakter suara lembut dan beralunan panjang.
2. Tipe tawak (gong panggil), karena gong ini biasanya digunakan juga sebagai alat kominikasi (pemberitahuan) apabila ada kematian, bencana, tamu, persta, dan lainnya. Suaranya tegas hampir beralunan pendek dan ukurannya agak kecil. Cirri khas adalah ukuran sisi tinggi. Alat ini disebut juga ketawak, tetawak, atau ogong.
3. Tipe bondi, dengan ukuran sama atau sedikit lebih kecil daripada tawak, sisinya rendah, suaranya lembut dan merdu di sebut juga dengan nama bebondi, bendai, Bandai, canang.
4. Tipe boring (gong datar), gong dengn permukaan yang datar, suaranya bergetar nyaring (deper) disebut juga boring-boring, gentarai, puum.
5. Tipe kelintang (gong-gong kecil horizontal), berbeda dengan tipe-tipe terdahulu yang posisinya digantung ketika dimainkan, alat tipe ini terdiri dari beberapa satuan gong kecil (antara 5-9 satuan) yang disusun pada sebuah rak resonansi, suaranya tinggi dannyaring, dan kebanyakan berfungsi sebagai alat melodi, disebut juga dengan nama engkeromong, keromong, kangkanong, klentangan.

Alat-alat music logam lainnya yang masih dapat ditemukan pada beberapa kelompok, namun tidak tersebar secara merata, antara lain rahup (sejenis samba kecil) dan sejenis saron. Alat-alat perkusi lainnya adalah alat music yang terbuat dari bamboo, seperti tagunggak, peruncong, sengkurung, senggayung dan lain-lain.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat kita ambil kesimpulan bahwa suku dayak adalah suku yang telah mengenal berbagai macam alat kelengkapan hidup meskipun masih sangat sederhana jika kita bandingkan dengan peralatan yang sekarang yang serba canggih. Namun demikian, suku dayak adalah suku yang sejak dahulu bersahabat dengan lingkungan alam.
2. Saran
Ditengah arus globalisasi dan modernisasi pada saat ini, kebudayaan cenderung untuk ditinggalkan, untuk itu mari kita jaga, kita cintai dan kita lestarikan.